Kaitan Antara Agama, Berpikir Ilmiah, Iptek, dan Seni

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di elearning Universitas Terbuka untuk memenuhi tugas diskusi pada perkuliahan sesi kelima matakuliah Pendidikan Agama Islam yang diampu oleh Ibu Nindia Puspitasari, S.Pd.I., M.Pd. Semoga dapat dijadikan bahan referensi untuk teman-teman yang juga mengambil matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan di manapun berada. Mohon dikoreksi jika ada kesalahan. Terimakasih.

Soal

  1. Jelaskan secara umum apa yang dimaksud dengan iman?
  2. Jelaskan menurut Anda tentang  integrasi    antara agama, Iptek dan Seni?
  3. Bagaimana dengan pandangan Islam (Alqur’an) terhadap perkembangan teknologi?
  4. Coba Anda jelaskan pengertian berpikir ilmiah!
  5. Kendala berpikir ilmiah di Indonesia pada masa kini, yaitu masih kokohnya keyakinan yang menentukan sikap keagamaan secara tradisional.Bagaimana strategi untuk mengantisapasi kendala tersebut? Jelaskan!

Pengertian Iman

Iman adalah sikap percaya atau yakin terhadap sesuatu yang dianggap benar. Menurut (Nurdin, et al., 2018) di dalam Pendidikan Agama Islam mendefinisikan iman sebagai pembenaran dalam hati dengan mengandung ilmu bagi orang yang membenarkan itu.

Sedangkan menurut Al-Jurjani (dalam Wijaya, 2020) menegaskan defininisi iman secara bahasa diartikan sebagai membenarkan dengan hati dan secara syariat  meyakini dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan.

Integrasi Antara Agama, Iptek, dan Seni

Agama adalah pondasi yang paling pokok untuk menjalani kehidupan di dunia. Benteng pertahanan manusia yang paling baik untuk menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini adalah agama. Agama merupakan landasan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dikemukakan oleh (Nurdin, et al., 2018).

Agama, dalam hal ini Islam, mendorong pemeluknya untuk  menggali, menggunakan, dan mengembangkan ilmu.

Allah berfirman di dalam surat At-Taubah ayat 22:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Melalui ilmu yang dikuasai, manusia bisa menciptakan dan mengembangkan teknologi sesua yang dibutuhkannya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa diciptakannya hukum mubah oleh Allah SWT adalah dikarenakan manusia memiliki rasa bosan. Ketika seseorang merasa bosan maka diperbolehkan untuk mencari sesuatu yang dapat menghibur diri semisal dengan cara menikmati keindahan suatu seni.

Baginda nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya kurang lebih menekankan bahwa Allah itu indah dan menyukai keindahan. Oleh sebab itu menikmati seni tidaklah bertentangan dengan ajaran agama.

Ketika agama dan seni tidaklah bertentangan lalu bagaimana integrasi antara seni dengan iptek? Di dalam mencitakan sebuah seni tentu dibutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi sekecil apa pun itu. Misalnya seni menggambar dibutuhkan pengetahuan mengenai bentuk, warna, dan lain sebagiinya. Teknologi yang dibutuhkan untuk menggambar yang dibutuhkan misalnya digunakan untuk membuat alat-alat menggambar yang digunakan. Terlebih lagi jika menggambar secara digital maka kebutuhan iptek dalam menggambar sangat diperlukan.

Pandangan Al-Qur’an Terhadap Perkembangan Teknologi

Al-Qur’an sangat mendukung terhadap perkembangan teknologi. Mutia (2007) di dalam Teknologi dalam Al-Qur’an mengemukakan bahwa surah yang pertama kali turun di dalam Al-Quran adalah untuk menyeru manusia melakukan belajr dan riset.

Ketika Al-Qur’an dibuka dengan pengantar menganjurkan penganutnya untuk belajar dan melakukan riset mak konsekuensinya adalah umat Islam dituntut untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya untuk membantunya dalam menjalankan kehidupan termasuk implementasi pengetahuan yang didapat dari membaca maupun riset ke dalam sebuah teknologi yang terbarukan.

Al-Qur’an secara implisit maupun eksplisit menjelaskan mengenai tata surya, geologi, hidrologi, dan lain sebaginya. Hal itu dapat dipelajari dan dikembangkan untuk lebih lanjut menggunakan bantuan teknologi-teknologi yang diciptakan manusia. Misalnya teknologi untuk pembuatan kapal, teknologi pembuatan satelit, dan lain sebaginya.

Pengertian Berpikir Ilmiah

Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang disertai dengan penalaran mengacu pada metodologi ilmiah. Menurut Sumarto (2006) langkah-langkah berpikir ilmiah itu dimulai dari perumusan masalah, dilanjutkan dengan penyusunan kerangka berpikir, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan.

Penalaran adalah ciri berpikir manusia yang tidak dimiliki oleh hewan. Manusia dan hewan sama-sama bisa berpikir sehingga keduanya memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang didapat hewan dilakukan melalui proses berpikir tanpa penalaran sehingga manfaat pengetahuannya hanya terbatas untuk empertahankan hidup saja (survival). Sedangkan pengetahuan manusia didapat melalui proses penalaran sehingga manfaat pengetahuan dan ilmunya cakupannya lebih luas.

Strategi untuk Mengantisipasi Cara Berpikir Tradisional Umat Islam

Tidak dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan cara berpikir yang tidak ilmiah. Salah satu bentuknya adalah berpikir etis yang menghasilkan suatu kearifan lokal sebagaimana yang diungkapkan oleh Sumarto (2006).

Menurut saya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi cara berpikir tradisional umat Islam di Indonesia yaitu:

  1. Memperbanyak kegiatan ilmiah di pesantren. Kegiatan literasi di pesantren-pesantren salafiyah cukup bagus dilihat dari pengkajian kitab-kitab ulama’ klasik yang menjadi sorotan utama. Hanya saja, menurut saya, kegiatan ilmiah di pesantren masih belum menjadi budaya. Untuk itu perlu perhatian lebih untuk hal ini.
  2. Pengujian dan pelatihan pada dosen ataupun guru agama secara berkala. Masih banyak guru agama maupun dosen yang kesulitan berpikir ilmiah. Kalau gurunya saja tidak bisa berpikir ilmuah bagaimana dengan anak didik yang diajarnya? Ada dosen yang kemampuan teoritisnya bagus tapi kesulitan menyampaikan ilmunya. Ada dosen yang bergaya feodal dalam mengajar dan tidak memberikan ruang untuk berpikir ilmiah pada mahasiswanya. Ada dosen yang mengedepankan ranah kognisi saja setiap mengajar sehingga menihilkan pengembangan kerangka berpikir ilmiah mahasiswanya. Untuk itu, benteng pertahanan cara berpikir ilmiah sebetulnya ada di guru-guru agama mapun dosen yang mengampu mata kuliah agama. Jika hal itu tidak dibenahi ya sampai kapan pun cara berpikri tradisional di Indonesia akan sulit dihilangkan.

Referensi

  1. Mutia, 2007. Teknologi dalam Al-Qur’an. Islam Futura, VI(2), p. 70.
  2. Nurdin, A., Mikdar, S. & Suharmawan, W., 2018. Pendidikan Agama Islam. 1 ed. Jakarta: Universitas Terbuka.
  3. Sumarto, 2006. Konsep Dasar Berpikir: Pengantar Ke Arah Berpikir Ilmiah. Surabaya, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” .
  4. Wijaya, M. T., 2020. Pengertian Keimanan Menurut Sejumlah Ulama. [Online]
    Available at: https://islam.nu.or.id/post/read/102498/pengertian-keimanan-menurut-sejumlah-ulama
    [Accessed 22 April 2020].

 

 

Leave a Comment