Setiap bolak-balik Semarang-Salatiga, aku selalu melihat plang besar Vihara Watugong Semarang sembari bertanya-tanya,”Tempat ini dibuka untuk umum atau privat kah?”
Bertanyanya cuma ke abah K, enggak browsing atau gimana lah, jadi tidak kunjung mendapatkan jawaban. Hingga pada liburan Imlek minggu lalu, tiba-tiba abah K membelokkan motor ke gerbang masuk Vihara Watu Gong.
“Masuk enggak, Yi?” tanya abah K sembari menghentikan laju motor. Aku mengamati keadaan sekitar. Tampak di parkiran lalu lalang mobil, motor dan bis jauh lebih ramai dari biasanya. Ini pada ibadah atau wisata? Saat aku bertanya-tanya dlam hati, masuklah Mbak-mbak yang memakai jilbab, “Eh, ini buat umum deh kayaknya, masuk yuk, Bah.”
Dengan ragu, abah K menuju ke pos satpam. Satpam mengeluarkan kartu pakir. Fix, Vihara Watugong dibuka untuk umum. Enggak ada tiket masuk, hanya membayar parkir Rp. 2000,00 dibaya nanti saat keluar dari Vihara Watu Gong.
Selamat Datang di Vihara Buddha Gaya Watu Gong
Memasuki pelataran Vihara Buddha Gaya Watu Gong, kami disambut oleh batu andesit alami berbentuk Gong. Ehm, batu ini lah yang menjadi dasar nama daerah di sekitar Vihara Buddha Gaya Watu Gong. Saat kuamati lebih detail dari dekat, batu tersebut memang seperti diapahat berbentuk Gong, tetapi konon pahatannya alami loh, enggak dibuat.
Di pelataran batu alam Watu Gong terdapat papan petunjuk lokasi. Jangan melewatkan papan informasi terkait Vihara Buddha Gaya Watu Gong, ya. Penting banget agar kita enggak melewatkan satu pun situs utama Vihara Buddha Gaya Watu Gong. Ada 11 tempat utama Vihara Buddha Gaya Watu Gong yang harus kita kunjungi agar bisa menikmati Vihara secara keseluruhan.
Okesip, setelah meneliti setiap infomasi di papan gedhe itu, kami memasuki gerbang. Gerbangnya unik. Namanya Gerbang Sanchi. Gerbang ini merupakan replika Gerbang Stupa Sanchi India, negara asal Buddha sebagai simbol penghormatan sebelum memasuki areal Vihara/ Stupa sebagai tempat kediaman sang Buddha.
Dhammasala, Pusat Vihara Buddha Gaya Watu Gong
Aku terpukau saat menjejakkan kaki di halaman Dhammasala. Luas dan hening. Dhammasala, pusat Vihara Buddha Gaya Watu Gong ini memiliki arsitetur yang unik, lebih mirip ke joglo dan mengingatkanku pada bentuk rumah dengan punden berundak. Gaya yang juga mengingatkanku dengan bangunan masjid tempo dulu seperti Masjid Agung Demak. Punden berundak adalah akulturasi jaman megalithikum yang diserap pada jaman Hindu, Buddha juga jaman keemasan Islam.
Ruangannya luas. Aku enggak sempat menyusuri ruangan demi ruangan karena sedang menggendong si K yang tidur tanpa selendang. Dhammasala adalah inti dari Vihara Buddha Gaya Watu Gong. Dhammasala berfungsi sebagai tempat puja bakti, penahbisan semanera-bhikhu, ruang samadhi, diskusi dhamma, dan kegiatan lainnya.
Pada deretan dinding pagar Dhammasala, terdapat ukiran relief yang menggambarkan patticassamuppada (hukum sebab akibat yang saling berkaitan), hukum alam yang dialami oleh semua makhluk sebelum kebahagiaan tertinggi, Nibbana. Sayang, kami enggak sempat memotret dinding ini. Sayang, ya.
Sepanjang melewati Dhammasala menuju ke tempat berikutnya, aku merenung, ya… semua saling terkait dengan sebab-akibat, tidak bisa lepas. Kalau sesepuh jawa mengenalkan kami dengan karma, cepat atau lambat, kejadian buruk akan mengikuti sesiapa yang berbuat bejat.
Kuti Samadhi, Pondok Kayu Berbentuk Rumah Panggung
“Bah, kayak pondokan di pesantrean ya? ” tanyaku pada abah K saat melewati pondok kayu berbentuk panggung, Kuti Samadhi.
Abah K mengangguk. Kuthi Samadhi kita jumpai setelah kita menuruni tangga dari Dhammasala. Pondokan kayu berwara coklat yang terbuat dari kayu ulin. Kuti Samadhi berfungsi sebagai tempat tinggal para samanera-bhikkhu atau kediaman sementara bagi para ummat selama berlatih samadhi-meditasi.
Setelah melewati Kuti Smadhi,kita akan menjumpai Perpustakaan, dikeal juga sebagai TBM yang menjadi sekretaiat Vihara. Kami cuma melihat dari jauh, enggak masuk ke dalan TBM.
Di balik rerimbunpepohonan, ada sebuah bangunan yang kokoh dan tinggi. Suasananya hening, pengunjung umum dilarang masuk kesini tanpa seijin petugas; Kuti Bhikkhu. Ruangan yang digunakan sebagai tempat tinggal Bhikkhu.
Tugu Ariya Attangika Magga, Delapan Jalan Menuju Kebahagiaan Tertinggi
Di perjalanan menuju patung Buddha, kami melewati sederetan tiang-tiang besar. Kukira itu cuma hiasan, ternyata malah menyimpan filosofi besar. Tugu Ariya Attangika Magga, namanya. Tiangnya berjumlah delapan yang menggambarkan delapan jalan yang harus ditempuh oleh ummat untuk menuju kebahagiaan tertinggi; Nibbana.
Delapan jalan tersebut adalah Pengetian Benar (samma-ditthi), Pikiran Benar (samma sankappa), Ucapan Benar (samma-vaca), Perbuatan Benar (samma-kammanta), Pencaharian Benar (samma-ajiva), Daya-upaya Benar (samma-vayama), Perhatian Benar (samma-vati) dan Sammadhi Benar (samma-samadhi).
Aku terpukau menjumpai patung besar Buddha yang sedang tidur, Buddha Parinibbana, patung yang menggambakan saat wafat-Nya sang Buddha diantara dua pohon Sala. Patung yang berwarna keemasan itu menyita perhatian pengunjung.
Di areal patung Buddha Parinibbana, terdapat baliho besar berisi pengumuman jika di areal tersebut akan dibangun patung Buddha tertinggi dengan bahan dasar perunggu. Aku lupa berapa tingginya, kita tunggu saja kalau sudah jadi, ya.
Pagoda, Icon Utama Vihara Buddha Gaya Watu Gong
“Yi, disini kok sepi, kan imlek?” tanya abah K saat menjejak ke Pagoda.
Aku tertawa, “Haiya, Imlek kan Konghuchu, Bah. Di Kenteng. Ini Pagoda, Buddha.”
“Oh beda ya? Aku pengen ndelok Barongsai.” celetuk abah K sambil tertawa kecil.
Meskipun abah K sempat salah duga, kami tetap menikmati tur religi kali ini sampai-sampai foto yang kami ambil hanya sedikit. Kami mengelilingi Pagoda, sempat naik ke Pagoda tetapi langsung turun karena sadar diri ini adalah tempat ibadah Ummat Buddha.
Pagoda, bangunan stupa yang bercorak oriental sebagai ruang disemayamkannya gambaran wujud Bodhisatva Avalokitesvara, bakal Buddha yang dalam mitologi Buddhis bercorak Tiongkok. Dewi yang berwelas asih ke semua makhluk tanpa batas.
Leyeh-leyeh di Bawah Pohon Bodhi
“Ini bukan, Bah?” aku menunjuk ke pohon rindang di depan Pagoda.”Ini bukan ya pohon Bodhinya? Tapi kan, katanya daunnya berbentuk love?”
Aku menelisik setiap sudut. Berjalan melewati turunan tanga dan orang-orang yang sedang asik selfie. Dari atas tangga, aku melihat patung Buddha di bawah pohon rindang.
“Wah, ini pohon Bodhi-nya, Bah.”
Pohonnya merendah dan melebar, sepeti menyediakan dirinya untuk memayungi sesiapa yang berteduh di bawahnya. Daunnya berbentuk love, mirip daun dadap tetapi versi kecil. Angin semilir di bawah pohon Boddhi. Kami asik duduk di bawah pohon dan melupakan hasrat foto-fotoan. Iya, yang lain asik foto-foto, kami asik menikmati angin sepoi-sepoi.
Pohon Bodhi ini adalah pohon cangkokan dari pohon Bodhi di Bodhigaya, India, tempat dimana sang Buddha Sidhata Gautama mencapai Samyak.
Tugu Ashoka, Simbol Tepa Selira
Tugu Ashoka adalah tiruan prasasti Kalinga yang dibuat pada masa Raja Ashoka yang menjadi simbol tepa selira, saling menghormati, toleransi dan kerukunan antar agama-kepercayaan.
Indah.
Toleransi yang kian ngangeni di saat-saat genting jelang pilpres gini. Hiks.
Memandang Tugu Ashoka emak K malah baper, heuheuu. Enggak mau kelamaan baper, kami pun melenggang menuju parkian. Tempat parkirnya unik, berbentuk kotak dengan tangga berundak-undak. Tempat parkir yang jika dilihat dari atas berbentuk Mandala Candi Borobudur.
Kami pulang dengan membawa semangat baru. Semangat untuk terus berbuat kebajikan, memastikan segalanya halal dan thayyib, memayungi sesiapa yang membutuhkan, juga terus menggenggam toleransi dengan erat.
See you next time, Vihara Buddha Gaya Watu Gong. Terimakasih atas perjalanan sarat makna ini.