“Abah ting pundi?” tanya si K, saat kami mengantarkan abah K ke jalan raya malam-malam.
“Ke Jakarta,” jawabku, singkat.
“Naik apa?”
“Kereta.”
Si K terlihat antusias, “Ha? Kepin nde(r)ek. Naik kereta, kalih Abah.”
“Abah kerja, Nang. Kevin mboten pareng nderek.” aku berusaha menjelaskan. Si K tetap ingin ikut abahnya.
“Suk nek Abah bali, numpak kereta, ya?” Abah K akhirnya mengeluarkan jurus pamungkas. Menjanjikan sesuatu agar si K tidak rewel sungguh bukan hal yang tepat. Tetapi, saat itu situasi sedang mendesak, hari hampir larut malam, aku dan si K harus segera pulang sebelum jalan benar-benar sepi.
Menuju Musium Kereta Api Ambarawa
Bulan lalu, saat kami sedang senggang, kami membawa si K ngebolang ke musium Kereta Api Ambarawa. Kami menuju ke Ambarawa menggunakan sepeda motor. Dari Salatiga, kami mengambil rute Salatiga-Muncul-Banyubiru-Ambarawa.
Kalau tidak menggunakan kendaraan pribadi, kita bisa naik angkutan umum jurusan Ambarawa, turun di depan pasar AMbarawa atau di Palagan Ambarawa, kemudian jalan barang sepuluh menit. Bisa juga memesan Ojek Online untuk menuju Musium Kereta Api Ambarawa.
Sampai di Alun-alun Banyubiru, kami istirahat sejenak menikmati mie ayam ceker. Sayang, aku tidak ingat nama warung mie ayamnya, padahal rasanya tiada dua, sedap. Foto pun hanya sekedarnya, cuma dua jepretan, setelah itu larut menikmati mie masing-masing. Wkwkwk, kayak gini mau jadi food blogger ya? Hahaha.
Kami sampai di Musium Kereta Api Ambarawa setelah menempuh kurang lebih satu jam perjalanan. Di parkiran terlihat bis berjejer rapi. Wah, alamat antre, nih.
“Ini parkirnya dimana?” tanya abah K.
“Enggak tahu, enggak ada tanda parkir mobil atau motor. Sudah, parkir di bawah pohon saja.” jawabku, asal.
Akhirnya abah K memarkir motor di bawah pohon yang tidak jauh dari loket masuk–Yang saat pulang kami baru tahu jika kami salah parkir di tempat parkiran mobil.
Masuk ke Musium Kereta Api Ambarawa
Saat itu hari Selasa. Kami berjalan ke arah loket masuk yang antrinya sudah sepanjang naga–emak K lebay, sekira 50an orang antri berdiri, sih. Belum yang menunggu dengan duduk. Karena antri erlalu panjang, kami melipir sejenak ke ruang tunggu.
Interior loket masuk Musium Kereta Api Ambarawa jauh lebih kece dibandingkan saat terakhir kali aku bertandang delapan tahun yang lalu. Bangunannya mengusung tema ruistik, dengan kayu berwarna coklat sebagai warna dominan. Bangku khas kereta jaman kolonial yang terbuat dari kayu berjejeran di ruang tunggu. Aku mengagumi interiornya, menghirup dalam-dalam udara sekitar musium yang sejuk.
Saat antrian telah habis, kami segera menuju ke loket karcis. Kulihat jadwal-jadwal yang ditempel di dinding loket. O em Ji, aku kecele, jadwal kereta reguler yang akan membawa kami keliling ternyata cuma hari Minggu dan hari libur nasional. Di luar hari itu, hanya dioperasikan kereta wisata dengan minimal 50 rombongan.
“Abah, kereta api reguler cuma hari Minggu. Gimana?” tanyaku, berbisik.
“Duh, Kevin ra sida numpak kereta lak an.” sahut Abah K, “Yang penting masuk dulu saja.
Aku segera memesan karcis untuk dua orang dewasa dan satu orang anak. Harga tiket masuk dewasa @10.000, sedangkan untuk anak-anak @5.000. Jadi kami mengeluarkan uang Rp. 25.000,00 untuk masuk ke Musium Kereta Api Ambarawa.
Si K Menikmati Musium Kereta Api Ambarawa
Si K langsung minta turun dari gendongan begitu keluar dari loket karcis Musium Kereta Api Ambarawa. Langkahnya lincah menikmati lorong musium dengan nuansa Belanda yang sangat kental. Berulangkali si K berteriak, “Ibuk, kereta-kereta! Kepin naik kereta!”
Aku tergopoh-gopoh mengikuti kecepatan si K berlari. Ia terus saja berlari menyusuri lorong musium tanpa peduli apakah Ibunya mengikuti di belakang atau tidak. Hahaha. Sampai-sampai, aku tidak sempat membaca satu demi satu sejarah perkereta apian Indonesia yang ditulis di dinding lorong masuk Musium Kereta Api Ambarawa.
Pernak-pernik Perkereta Apian
Spot pertama yang kami kunjungi adalah musium pernak-pernik perkereta apian, dari kalkulator segedhe gaban sampai peluit masinis. Saat melihat-lihat display pernak-pernik perkertaapian aku hanya berdecak kagum. Berulangkali membayangkan aktivitas perkeretaapian jaman semana. Penanda tiket yang masih manual, bendera morse, peluit masinis, juga kalkulator yang ukurannya nyaingi komputer jaman sekarang.
Ada tiga ruang pernak-pernik perkereta apian. Aku mengagumi interior gaya kolonial yang masih sangat terawat sampai sekarang. Di otakku berseliweran masinis dan petugas musium berwajah Belanda.
Kami mengunjungi ruang demi ruang dalam waktu yang lumayan singkat, si K sudah enggak sabar untuk segera menjelajah kereta api yang ‘parkir’ di halaman musium. Kami berkunjung ke ruang display sekedar membaca tulisan keterangan pernak-pernik.
Naik Kereta Api, Tut-tut-tut…
Meskipun tidak bisa naik kereta api karena kami berkunjung saat weekdays, si K cukup terhibur dengan menjelajah satu persatu kereta api yang ‘parkir di halaman Musium Kereta Api Ambarawa–so, jika kamu ingin menikmati indahnya Rawa Pening, Merbabu, Telomoyo dan gugusan bukit-bukit sekitar Ambarawa dengan menggunakan kereta, datanglah saat weekend atau musim liburan tiba. Tiketnya Rp. 50.000,00 per orang–
Di kereta, si K dan abah K menikmati quality time berdua. Emak K ngapain, dong? Nge-vlog dan foto-foto. Bhuahahah. Si K mencoba menjadi masinis, membuka tutup sembarang kalir. Naik-turun sendiri–Iya, naik turun sendiri di kereta setinggi itu, Broh!
Kereta yang dipajang di Musium Kereta Api Ambarawa adalah kereta uap, warnanya hitam menggelegam. Jaman semana, kereta api memang hitam kali, ya? Setiap kereta terdapat keterangannya, ada kereta api pengangkut batu bara, ada kereta api pengangkut barang, dan lain sebagainya.
Si K terlihat antusias bertanya setiap printilan kereta.
“Bah, ini apa?” tanyanya, menunjuk gerbong kereta.
“Gerbong, Nang.”
Si K naik ke dalam kereta api, meneliti setiap pojok kereta.
“Bah, ini apa?” tanyanya lagi, menunjuk tuas pengemudi.
“Itu buat nyetir masinis.”
“Ha?” si K bertanya dengan wajah heran kepada abahnya.
“Masinis, Pin. Yang nyupir kereta.”
“Oooo.” si K mengangguk-angguk, entah paham atau tidak. Emak K menahan diri untuk tertawa–si K kalau sedang bertanya, trus ditertawakan bakal ngambek. Wkwkwk.
“Abah, ini apa e?” tanya si K, menunjuk box yang bisa dibuka tutup.
“Gawe lungguh kuwi, Pin.” sahut abah K, asal.
Mhuahaha. Sungguh jawaban yang sangat menyesatkan. Di ruang masinis kereta api uap terdapat dua buah dua box yang bisa di tutup. Aku sendiri sangsi jika box tersebut digunakan untuk duduk, mungkin digunakan untuk menyimpan printilan semacam bendera semaphore?
Sampai Jumpa Lagi, Musium Kereta Api Ambarawa!
Hari sudah siang, abah K mengajak untuk segera keluar dan menuju ke Musium Palagan Ambarawa. Si K terlihat sangat berat untuk meninggalkan kereta-kereta yang sudah ditunggu lama. Kami bertekad untuk kembali ke Musium Kereta Api Ambarawa saat weekend atau holiday tiba, demi apa jika bukan demi menikmati keindahan Rawa Pening dan gunung-bukit yang mengelilinginya dengan kereta api uap.