Keindahan Gunung Merbabu Dilihat Dari Salatiga

Tulisan ini merupakan skuen catatan jalan-jalan yang aku kumpulkan pada rubrik Nusagatrip. Tujuanku mengarsipkan acara jalan-jalan atau mbolang itu untuk mengenangnya bahwa kami pernah menikmati kehidupan ini dengan cara jalan-jalan. Maka Nikmat dari Allah yang mana bisa kami dustakan?

Kami memang suka jalan-jalan. Tujuannya bukan hanya untuk menikmati keindahan alam saja melainkan untuk tujuan lain juga. Misalnya ketika hubungan kami sedang ada masalah, aku biasanya mengajak Widut jalan-jalan. Bukan untuk merayunya agar cepat insaf dari merajuk, bukan. Tetapi biar ketika kami bertengkar tidak ada keluarga yang mendengar atau melihat. Disamping itu, kalau bertengkar di ruang publik pasti tidak akan seheboh kalau di rumah. Ini cukup efektif untuk mereda perang dingin yang berkepanjangan.

Pasar pagi atau pasar tumpah yang biasanya ada pada hari ahad pagi di pinggir jalan lingkar selatan (JLS) [kodepos kota=”Salatiga”][/kodepos] merupakan salah satu tempat yang cocok untuk bertengkar atau perang mulut. Di sana, pengunjungnya lumayan ramai dan saling mengurus urusannya masing-masing. Sambil menatap pemandangan merbabu, di sebuah lapak penjaja sarapan, kami bisa bertengkar sepuasnya di situ.

Pemandangan gunung Merbabu yang elok bisa kami abadikan di sela-sela atau jeda pertengkaran. Misalnya ketika pesanan kami datang atau ada pengunjung baru datang dan ikut duduk di lapak tempat kami bertengkar. Sambil menunggu suasana yang tepat untuk melanjutkan pertengkaran, kami bisa pura-pura mengambil gambar pemandangan gunung merbabu.

Kami sadar diri bahwa tempat yang kami jadikan battlefield adalah tempat publik. Sebisa mungkin kami berusaha menjaga agar pertengkaran yang terjadi tidak mengganggu orang lain yang berkunjung di pasar pagi itu. Kalau kamu melihat kami datang ke suatu destinasi [kamus kata=”wisata”][/kamus] tetapi di sana kami hanya duduk-duduk saja maka kalian boleh curiga bahwa kami sedang dalam rangka melakukan perang terbuka. Bukan hanya sidang saja yang terbuka. Perang juga kami buat terbuka. Kalau kami sedang tidak dalam masa pertengkaran atau misalnya mengadakan genjatan senjata maka si Widut tidak akan mau duduk-duduk saja. Ia akan keliling untuk hunting burung dan mengintipnya dengan penuh nafsu melalui lubang kamera.

Dari situlah aku mulai terbiasa menyembunyikan perasaan. Aku bisa berlaku biasa atau wajar-wajar saja ketika menghadapi orang yang membuatku sangat marah. Tidak berusaha menunjukkan kemarahanku pada orang itu. Sampai-sampai aku dikira sebagai orang yang mendekati idiot karena seakan-akan aku tidak tahu kalau sedang ada orang yang berusaha menyerangku. Padahal! memang begitulah strategiku menghadapai orang-orang bar-bar yang ada di sekelilingku. Aku tidak akan menunjukkan powerku pada mereka. Biar saja aku dianggap lemah dan mudah dikadali. Memang seperti itu yang kuharapkan. Tapi…. jika keluargaku yang diserang, jangan harap secuilpun aku tinggal diam. Kalau mau skrotum kalian pindah ke leher saat bangun tidur silahkan coba saja.

Jadi, sebetulnya mana sisi keindahan gunung merbabu? Kok malah curhat. Ya begitulah kura-kura dalam perahu.

[tahukah kata=”prakiraan”][/tahukah]

Leave a Comment