Memiliki blog dengan trafik yang tinggi adalah dambaan blogger. Terlebih jika trafik yang tinggi itu bisa dikonversi menjadi pundi-pundi uang, entah dengan cara berafiliasi dengan agensi iklan, menjadi buzzer, menerima content placement, job review, atau lainnya.
Sebagai blogger, aku merasa tak cukup memiliki satu blog. Hinggi saat ini, blog yang kumiliki jumlahnya puluhan. Hampir semuanya berisi tulisanku sendiri meskipun sebagian di antaranya ada yang hasil saduran, tulis ulang dengan penggubahan, atau sekedar alih bahasa saja. Namun yang paling aktif ya blog ini, Nusagates. Karena blog ini ibarat rumah sedangkan yang lain adalah tempat singgah.
Istriku juga seorang blogger. Isi blognya sama seperti punyaku. Tulisan curhat. Tapi anehnya doi seperti ngebet banget pengen dikenal Google sampai dibelain ikut grup blogger yang anggotanya hobi blogwalking plus saling memberi komentar. Ehem… diam-diam Google mau diakali. Apakah berhasil? Aku rasa doi sih enggak. Lha wong page view per hari saja masih bisa dihitung dengan jari padahal umur blognya sudah setahun.
Aku sebenarnya heran. Kenapa sih kita kok nurut banget pada peraturan search engine? Suruh buat sitemap mau. Suruh pakai meta juga mau. Density keyword tidak boleh lebih dari sekian % nurut. Gambar perlu dikasih atribut title dan alt plus dikasih caption juga nurut. Pakai heading di setiap tulisan nurut juga. Paragraf antar heading tidak boleh lebih dari sekian kata juga dituruti. Sebisa mungkin kata kunci harus masuk pada judul, url, isi artikel, dan deskripsi gambar juga gak merasa keberatan. Uhhh… Kalau kita sudah bersusah payah mengikuti aturan algoritma search engine kemudian tiba-tiba search engine dihapus gimana? Bagaiamana perasaan kita?
Google berpesan seperti ini,
When you make changes to your site, make sure you’re doing so to enhance the user experience, not to try to rank better in search results. A useful question is, “Does this help my users? Would I do this if search engines didn’t exist?”
Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri apakah kita akan tetap menjadi blogger jika search engine dan sosial media tidak ada? Jika orang-orang bisa mengunjungi blog hanya dengan mengetik alamat blog (atau dengan cara lain tanpa bantuan search engine, sosial media, sosial bookmark) apakah kita masih bertahan menjadi blogger? Apakah kita juga akan bersemangat mengikuti grup blogger untuk bertukar komentar atau saling review (cari backlink)? Apakah kita akan rela merogoh kocek untuk membeli layanan Semrush, Alexa, Moz, atau lainnya untuk menerawang keyword dan analisa ranking blog juga?
Google bertanya,
Would you feel comfortable explaining what you’ve done to a website that competes with you or to a Google employee?
Sebenarnya lawan kita (kompetitor) ngeblog itu blogger apa karyawan Google yang hobi update algoritma? Kok seakan-akan kita saling berlomba untuk mengelabuhi Google dan search engine lainnya agar dapat peringkat bagus. Atau jangan-jangan kita ini bukan blogger melainkan perusuh karyawan Google sehingga mereka sering dipaksa bos untuk membuat rumusan algoritma baru untuk mengganti algoritma lama yang sudah bolong-bolong diserang… ehhmmm. Kenapa dipaksa? Ulah kita-kita ini bisa membuat biaya server Google membengkak karena harus menambah indeks data terus menerus. Padahal belum tentu data itu penting bagi orang lain.
Apakah yang kita lakukan ini benar? Blogger tentu memiliki segudang jawaban dengan bergudang-gudang argumentasi. Wajar kan? Lha wong blogger itu menguasai segala bidang keilmuan. Kalau ternyata ada tulisan yang salah tinggal bilang maaf kepencet, maaf typo, atau maaf blog sedang dihack urusan beres.
Eh… tapi daripada internet dipenuhi dengan konten porno hambok mending dipenuhi artikel kita-kita, to? Bener, to? Cocok, to? Setuju, to?