Bulan lalu, pemblokiran aplikasi Telegram yang dilakukan oleh pemerintah melalui kominfo sempat menuai kontroversi. Seperti biasa, masyarakat terpecah mejadi beberapa kubu diantaranya kubu pro, kontra, dan netral. Waktu itu, aku memilih mengikuti kubu netral sambil mengamati perkembangan berita melalui teman-teman yang aktif di jurnalisme maupun melalui media-media yang bisa kugunakan untuk mengorek informasi lebih lanjut.
Hari ini, usai melihat perkembangan pembuatan Application Programming Interface (API) untuk aplikasi cargo, aku dengan seorang developer berbincang mengenai sisi keamanannya. Kami mengambil studi kasus Gojek yang sempat kebobolan, banyak akun customer yang diretas kemudian diperjual belikan. Kami menakar beberapa kemungkinan yang dilakukan peretas untuk mengambil alih akun customer kemudian memikirkan antisipasinya untuk diterapkan pada API yang sedang dibangun.
Perbincangan kami melebar ketika membahas mengenai kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan developer untuk merunut alur peretasan. Apakah pelacakan alur peretasan bisa dilakukan melalui sistem log atau lainnya sehingga dapat mengetahui celah sistem kemudian menambalnya dengan keamanan yang lebih baik. Ketika sampai pada sisi keamanan secara formal (kemanan non-sistemik internal), pembahasan kami semakin melebar ke kasus Telegram yang sempat diblokir oleh pemerintah Indonesia. Bagaimana seharusnya suatu perusahaan menjaga privasi penggunanya, bagaimana jika pihak keamanan meminta data privasi suatu pengguna yang dicurigai melakukan pelanggaran hukum, bagaimana kasus Apple dengan CIA yang sempat ramai beberapa waktu lalu kemudian berakhir. Kami membahasnya satu per satu.
Berdasarkan berita dari Tempo yang dipublikasikan pada 02 Agustus 2017, pemerintah Indonesia melalui kominfo mencabut pemblokiran Telegram dengan alasan bahwa pihak Telegram berkenan untuk memblokir grup-grup yang ditengarai digunakan untuk menyebarkan faham ISIS atau ektremis.
Aku menyayangkan langkah pemerintah meminta Telegram memblokir grup-grup yang ditengarai menyebarkan faham radikalisme dan ekstemisme. Bukan karena aku bagian dari simpatisan faham tersebut. Bukan! Melainkan langkah pemerintah tersebut sebenarnya malah mempersulit kerja pihak keamanan semisal BNPT atau pihak lainnya yang berwenang dalam mengungkap jaringan terorisme. Mengapa demikian? Dengan pemblokiran yang dilakukan, otomatis pihak keamanan tidak lagi bisa ikut nimbrung secara langsung untuk sekedar jadi pengawas, penyelidik, atau melakukan tindakan preventif. Pemerintah pun akan kehilangan jejak untuk merunut jaringan terorisme. Agenda maupun motif penyebaran tidak lagi bisa dikorek dengan mudah melalui aksi spying.
Hal yang lebih tepat untuk dilakukan menurutku adalah mengajak kerjasama Telegram (dan media sosial yang ada) untuk menandatangani MoU tentang pengawasan terorisme. Secara reguler, pemerintah mengontak penyedia layanan dengan menanyakan apakah ada indikasi yang mengarah ke penyebaran faham terorisme atau agenda teror yang dilakukan melalui platform mereka. Ketika suatu provider menyatakan positif ada hal tersebut maka pemerintah bisa melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai grup yang ditengarai menjadi sarang teroris bukan malah memblokirnya secara langsung yang dapat memutus jalan untuk merunut jaringan tersebut lebih lanjut.
Intinya yang ingin aku tekankan di sini adalah. Akibat pemblokiran akan berdampak pada:
- Pihak keamanan kehilangan jalan untuk melakukan pengembangan pengusutan jaringan terkait.
- Lebih sulit menemukan jaringan teroris karena dari pemblokiran itu mereka belajar untuk meningkatkan gerak senyap agar tidak terendus pihak keamanan
- Duplikasi grup-grup teroris ke platform lain. Benih-benih teroris baru akan muncul dengan improvisasi gerak senyap dan penggunaan sandi dalam percakapan.
- Anggota grup yang tidak ditangkap masih bisa dengan leluasa menyebarkan fahamnya melalui media lain.
Oleh karena itu, menurutku, daripada grup itu diblokir mending dijadikan alat untuk pengembangan jaringan terorisme. Ketika para teroris itu mampu bergerak dengan senyap menyebarkan fahamnya maka pemerintah tentu juga bisa melakukan gerak senyap untuk mengusut jaringan mereka kemudian menangkapnya satu per satu.
Aku percaya pada pemerintah. Ini hanya sekedar opini yang muncul setelah membaca beberapa penggal berita tentang pemblokiran Telegram. Amd.